Saturday, June 14, 2008

Terimpit di Antara Kebun Sawit (Kompas 15-Jun-08, p18)

Perburuhan
Terimpit di Antara Kebun Sawit
KOMPAS/MARIA HARTININGSIH / Kompas Images
Suasana kamp buruh harian lepas di perkebunan sawit di Desa Nehas Liah Bing.
Minggu, 15 Juni 2008 | 03:00 WIB

Bayangan kemilau tentang keuntungan dari perdagangan sawit dibayangi gambaran muram tentang alam, lingkungan, dan nasib manusia. Meningkatnya jumlah produksi tandan buah sawit hasil kerja keras buruh tak diimbangi dengan kesejahteraan buruh, meski harga minyak sawit mentah kian membubung.

”Kami tidak tahu lagi artinya merdeka,” ujar Bith Hibau (30), akrab disapa Ben. Ben telah bekerja selama delapan tahun di perkebunan PT Tapian Nadenggan milik Kelompok Sinar Mas. Kelompok bisnis itu menguasai sekitar 26.400 hektar kebun sawit yang tersebar di tiga tempat di Kecamatan Muara Wahau.

Ben bergabung bersama ratusan buruh tetap di PT Tapian Nadenggan menuntut kenaikan upah menjadi Rp 37.000 per hari. ”Supaya sama dengan buruh harian lepas, sesuai upah minimum kabupaten,” kata Luen Welay (42), yang bekerja di perusahaan itu sejak tahun 2000. Namun, perusahaan menolak. ”Mereka mau menaikkan upah, tapi menghilangkan tunjangan beras yang 15 kilogram per bulan. Itu sama saja bohong,” kata Et Lung (37).

Sejak bulan Mei 2008, ratusan karyawan PT Tapian Nadenggan, termasuk Luen dan Lung, mogok kerja. Perusahaan kemudian mendesak karyawan yang mogok menandatangani surat pengunduran diri. Sebanyak 94 karyawan resmi mundur sejak Juni 2008.

”Kabarnya, perusahaan akan mendatangkan pekerja dari Jawa. Sekarang kami menjadi penonton saja. Padahal janjinya, pekerjaan di kebun sawit akan diberikan kepada warga lokal,” keluh Luen.

Kepala Departemen Perizinan Regional Kalimantan Timur Kelompok Sinar Mas, Fitriyadi, membenarkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di perkebunan PT Tapian Nadenggan. ”PHK itu pilihan buruh yang sebelumnya mogok kerja,” ujarnya.

Untuk menyelesaikan masalah itu sempat dilakukan mediasi. ”Selama mediasi, seharusnya buruh tetap bekerja. Tetapi ternyata mereka tidak bekerja lebih dari 15 hari. Padahal enam hari absen tanpa keterangan dianggap mengundurkan diri,” lanjut Fitriadi.

Menurut dia, perusahaan sudah membayar Rp 860.000 sesuai upah minimum sektor perkebunan. Namun, yang diberikan sebenarnya sudah lebih karena ada uang beras yang nilainya Rp 75.000 tiap bulan. Kalau ada istri dan tiga anak, perusahaan memberi uang beras Rp 200.000 per bulan. Untuk karyawan tetap disediakan perumahan di dalam kompleks perkebunan yang luasnya sekitar 45 meter persegi per rumah.

Tak menentu

Para karyawan yang ”dipaksa mundur” kebingungan mencari lapangan kerja baru. ”Tak mungkin lagi kita kerja di hutan seperti dulu. Hutan sudah habis, ikan sudah susah didapat, sedangkan tanah-tanah ladang kita sudah menjadi kebun sawit milik perusahaan,” kata Lung.

”Sebagai masyarakat yang kebiasaan berladang berpindah, kita tidak bisa lagi bergerak. Ke sana sawit milik perusahaan, kesini juga sawit. Kita benar-benar dijajah. Jadi buruh di perusahaan juga tak dihargai yang pantas.”

Mengandalkan keluarga besar dan tetangga juga tak bisa lagi. Individualisme telah menghancurkan jejaring sosial, yang dulu menjadi kekuatan komunitas masyarakat. ”Sekarang, orang sibuk memikirkan keluarga masing- masing,” jelas ayah dua anak ini.

Posisi terakhir Et Lung adalah mandor. Ia bekerja sebagai buruh sawit sejak 2003. Pada waktu itu gajinya, terakhir, Rp 498.960, sedangkan yang dibayarkan hanya Rp 246.515. Gaji terakhirnya sebelum di-PHK, yaitu pada bulan April 2008, sebesar Rp 792.120, dibayarkan Rp 664.100.

”Banyak potongan yang kami tidak tahu untuk apa,” kata Lung.

Namun Abdul Aziz, alias We Yeu (80), Ketua Kelompok Tani Sawit Wekeah Yek, tak menyesali keadaan tersebut. Kepada salah satu anaknya yang ikut terjaring PHK, ia mengatakan, ”Kalau mau kerja keras dan hidup sederhana menjadi petani, pasti bisa hidup. Tanah ini akan mencukupi kebutuhan kita,” ujarnya.

Perusahaan memberi uang pesangon yang besarnya bervariasi. Ben menerima sekitar Rp 17 juta, yang lainnya menerima pesangon tergantung lamanya masa kerja. Namun, tak banyak yang tahu bagaimana perhitungannya. ”Tidak ada yang transparan di perusahaan itu,” kata Ben.

Menggantung harapan

Menurut Ben, sekitar 50 persen dari 200 karyawan tetap perkebunan tersebut adalah penduduk setempat. Sisanya berasal dari berbagai tempat di Indonesia, sebagian berasal dari Sulawesi Selatan dan Jawa. Buruh dari Jawa, sebagian adalah eks transmigran yang didatangkan ke daerah itu untuk proyek kelapa hibrida.

”Tetapi proyek itu gagal,” ujar Paliyanto (38) asal Gunung Kidul, Yogyakarta. Ia sudah bekerja selama delapan tahun di perkebunan sawit, dan berencana mulai menggarap lahan yang didapat dari program transmigrasi. Bagi Paliyanto, Wahau adalah masa depannya.

Barangkali kisah Hardi (45-an) dapat menjadi contoh keberhasilan transmigran. Ia tiba di Wahau pada tahun 1986 ketika lokasi transmigrasi itu masih dikelilingi hutan. Proyek kelapa hibridanya gagal. Setelah itu, ia berusaha menanam coklat, tetapi gagal juga.

Hardi dan keluarganya bertahan hidup dengan menanam sayur dan menjualnya kepada karyawan perusahaan HPH di sekitarnya. ”Kami biasa jalan tujuh kilometer untuk jual sayur,” ujar Ngatilah (50), sang istri. Hardi berusaha dengan segala cara untuk hidup, termasuk dengan berjualan bakso.

Ketika banyak tetangganya pulang ke Jawa karena tak tahan dengan kehidupan keras di tempat itu, ia membeli lahan-lahan jatah kaplingan itu. Dia juga menjual sapi untuk dibelikan tanah hingga 10 hektar.

”Tahun 1990-an itu harga tanah masih murah, rata-rata Rp 500.000 per kapling (3,25 ha),” kenangnya.

Perhitungan Hardi tepat. Harapan mulai terbuka ketika akhir tahun 1990-an kelapa sawit mulai dibawa ke Kalimantan. Ia menanami lahannya dengan sawit. Tahun 2005, tanaman sawitnya mulai menghasilkan. Saat ini, Hardi menangguk Rp 12 juta bersih per bulan.

Sawit dengan cepat menaikkan harga tanah di Nehas Liah Bing. ”Sekarang satu kapling kosong sudah Rp 30 juta. Kalau sudah ada sawitnya bisa Rp 150 juta,” ujarnya.

Harapan yang samar

Sebagian besar pekerja di perkebunan besar adalah buruh lepas harian. ”Satu perkebunan terdiri dari enam divisi, buruh harian lepasnya per divisi sekitar 400 orang, belum yang borongan,” jelasnya.

Mereka menempati barak-barak yang luasnya sekitar 15 meter persegi per keluarga. Lingkungannya kumuh. Namun, di situ, mereka menggantungkan harapannya. Seperti Haruna (40-an) dari Sulawesi Selatan, yang tiba di tempat itu pada bulan April tahun lalu, dengan memboyong serta lima anaknya yang usianya di bawah 10 tahun. Gaji hariannya Rp 36.000, katanya lumayan dibanding tinggal di desa tanpa pekerjaan.

Riah (19), juga berasal dari sebuah desa di dekat Makassar. Anak ketiga dari lima bersaudara itu sudah 10 tahun ikut orangtuanya di situ. Suaminya juga buruh harian lepas. Tampaknya tak ada jenjang karier dari buruh harian lepas menjadi karyawan tetap sehingga nasib mereka senantiasa berada di dalam spiral kehidupan subsisten.

Suasana barak di enclave perkebunan yang jauh dari dunia luar membuat anak-anak tak punya gambaran tentang cita-cita. Ahmad (5) terlihat bingung ketika ditanya ingin menjadi apa kalau sudah besar. Setelah lama berpikir, ia bergumam, ”Mau kerja di kebun....” (MH/BRO/AIK)

No comments: