Saturday, June 14, 2008

Lenyapnya "Surga" Kami... (Kompas 15-Jun-08, p17)

Lenyapnya "Surga" Kami...
KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Kondisi hutan di Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur, yang hanya menyisakan tonggak-tonggak kayu yang sudah mati. Sebagian area telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, yang kebanyakan dimiliki perusahaan-perusahaan swasta besar nasional dan pemodal asing.
Minggu, 15 Juni 2008 | 03:00 WIB

Maria Hartiningsih/Ambrosius Harto/Ahmad Arif

Ibarat melempar kancing baju, begitulah kemudahan mendapatkan berjenis-jenis ikan di Sungai Wehea. Airnya jernih, dapat diminum untuk memupus dahaga setelah bekerja di hutan. Sumber makanan disediakan oleh hutan lebat yang mengelilingi Desa Nehes Leah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.

Desa di bagian utara, sekitar 350 kilometer dari Kota Samarinda itu, dulu, ibarat surga. ”Penduduknya belum banyak, sumber kehidupan berlimpah-ruah,” ujar Heng Yeng Bong (50), akrab disapa Martin Slamet.

Ia mengisahkan situasi desa itu sampai akhir tahun 1960-an. ”Di sini ada buah kapul, terai, dan lain-lain. Dulu, juga menjadi gudang cempedak dan durian hutan,” sambungnya.

Hutan di wilayah itu memiliki berjenis-jenis rotan, seperti rotan pulut, jepun, sega, jahab, seletub, dan semambu. ”Sekarang jalan berapa kilo pun tidak ketemu. Mungkin masih ada di hutan lindung,” lanjut Martin.

”Hutan sudah ditebangi, ada yang jadi kebun, ada yang ditelantarkan, macam-macamlah,” sambung Abdul Aziz alias We Yeu (80), Ketua Kelompok Tani Sawit Wekeah Yek yang beranggotakan 54 petani sawit di situ.

Dulu ada ribuan bekantan di tepi sungai. ”Tujuh tahun terakhir ini saya tak pernah melihat bekantan lagi di sini,” sambung Bau Bit Tung (42), akrab disapa Simon David.

Orang cenderung menengok ke belakang menemui kenangan tentang hal-hal yang menyenangkan. Kalau dihadirkan lagi mampu membuat orang tersenyum sendirian, sebelum secara perlahan menjadi getir ketika kembali menemui kenyataan.

Saat ini, Sungai Wehea berwarna coklat, mengalir lamban karena beratnya beban yang dibawa dari bagian yang lebih hulu. Jangan membayangkan ikan sungai yang lezat, seperti patin, jalawat, dan baong. ”Kalau mau makan ikan, beli di pasar. Ikannya dari Samarinda,” tambah Simon.

Berbagai perubahan

Warga Komunitas Dayak Wehea itu menengarai keberadaan kebun sawit yang menjorok sampai ke pinggir sungai, di samping kegiatan lain termasuk pembalakan hutan di wilayah yang lebih hulu, sebagai biang keladi situasi itu.

Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Kutai Timur Akhmadi Baharuddin mengatakan, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur memang sedang menggalakkan agrobisnis dengan perkebunan sawit. Sampai tahun 2010, targetnya 350.000 hektar, dan 500.000 hektar antara tahun 2015-2020.

Saat ini terdapat sekitar 180.000 hektar perkebunan sawit, terluas di Kecamatan Muara Wahau. Lebih dari 40 perusahaan perkebunan sawit beroperasi di Kabupaten Kutai Timur, dengan lima pabrik pengolahan kelapa sawit yang menghasilkan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Data Dinas Perkebunan Kabupaten Kutai Timur menyebutkan, hingga awal tahun 2007 terdapat 81 pemohon izin usaha perkebunan sawit di wilayah itu.

Kalau hutan diubah menjadi perkebunan sawit, lahan harus dibersihkan dulu. ”Land clearing ini mengubah ekosistem. Lebih ngeri dibanding pembalakan kayu oleh perusahaan pemilik hak pengusahaan hutan,” kata Martin. ”Karena semak-semak hutan hilang, tanaman obat jadi sulit didapat,” sambung Keun Welay (42), ibu dari empat anak.

Tanaman sawit sangat rakus air, membuat tanaman lain yang membutuhkan air tak bisa tumbuh di dekatnya. ”Sekarang ini, kebun sawit berada hanya 3 sampai 5 meter dari pinggir sungai, sampai 40 kilometer ke arah utara,” ujar Martin.

Menurut peraturan, kebun sawit harus berada sekitar 40-50 meter dari pinggir sungai. Idealnya, menurut warga, setidaknya 1 kilometer dari kawasan pinggir sungai kondisi hutannya harus terjaga. ”Spesies tumbuhan hutan di pinggir sungai beda dengan hutan di pegunungan. Jenis-jenis tanaman obatnya juga beda,” kata Martin.

Ia menunjukkan daftar monografi perubahan Kawasan Budidaya Hutan (KBN) menjadi Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK), ”Kalau sudah diubah, kasarnya dimanfaatkan untuk apa saja boleh,” ujarnya.

Yang dirasakan paling mencolok adalah perubahan suhu di daerah itu. ”Dulu rata-rata 26 sampai 27 derajat Celsius, sekarang 30-34 derajat,” kenang Simon David. Pada pukul 10.00, baju sudah mulai basah oleh keringat.

Banjir menjadi kondisi rutin. ”Dulu juga ada banjir 10 tahunan. Jadi kami tahu, tahun kesembilan tidak lagi berladang di pinggir sungai. Sekarang kapan saja bisa banjir meskipun hujan kecil. Iklimnya makin tidak jelas,” lanjutnya.

Beberapa hari lalu, Darto Alsy dari Sawit Watch mengabarkan, desa itu terendam air hingga setinggi lutut orang dewasa karena hujan selama tiga hari.

Perubahan lingkungan dan alam adalah satu soal. Secara historis, produksi kelapa sawit tak hanya identik dengan penggundulan hutan-hutan tropis dan punahnya berbagai spesies langka, tetapi juga pengambilalihan atau pembebasan tanah (seringkali secara ilegal) milik masyarakat adat dan petani setempat, eksploitasi buruh perkebunan dan petani sawit yang selalu terpinggirkan oleh kebijakan yang cenderung berpihak kepada pemodal kuat.

Desa Nehes Leah Bing yang berpenduduk sekitar 10.000 jiwa dengan 411 kepala keluarga itu adalah gambaran yang nyaris sempurna dari semua itu....

No comments: