Saturday, June 14, 2008

Terimpit di Antara Kebun Sawit (Kompas 15-Jun-08, p18)

Perburuhan
Terimpit di Antara Kebun Sawit
KOMPAS/MARIA HARTININGSIH / Kompas Images
Suasana kamp buruh harian lepas di perkebunan sawit di Desa Nehas Liah Bing.
Minggu, 15 Juni 2008 | 03:00 WIB

Bayangan kemilau tentang keuntungan dari perdagangan sawit dibayangi gambaran muram tentang alam, lingkungan, dan nasib manusia. Meningkatnya jumlah produksi tandan buah sawit hasil kerja keras buruh tak diimbangi dengan kesejahteraan buruh, meski harga minyak sawit mentah kian membubung.

”Kami tidak tahu lagi artinya merdeka,” ujar Bith Hibau (30), akrab disapa Ben. Ben telah bekerja selama delapan tahun di perkebunan PT Tapian Nadenggan milik Kelompok Sinar Mas. Kelompok bisnis itu menguasai sekitar 26.400 hektar kebun sawit yang tersebar di tiga tempat di Kecamatan Muara Wahau.

Ben bergabung bersama ratusan buruh tetap di PT Tapian Nadenggan menuntut kenaikan upah menjadi Rp 37.000 per hari. ”Supaya sama dengan buruh harian lepas, sesuai upah minimum kabupaten,” kata Luen Welay (42), yang bekerja di perusahaan itu sejak tahun 2000. Namun, perusahaan menolak. ”Mereka mau menaikkan upah, tapi menghilangkan tunjangan beras yang 15 kilogram per bulan. Itu sama saja bohong,” kata Et Lung (37).

Sejak bulan Mei 2008, ratusan karyawan PT Tapian Nadenggan, termasuk Luen dan Lung, mogok kerja. Perusahaan kemudian mendesak karyawan yang mogok menandatangani surat pengunduran diri. Sebanyak 94 karyawan resmi mundur sejak Juni 2008.

”Kabarnya, perusahaan akan mendatangkan pekerja dari Jawa. Sekarang kami menjadi penonton saja. Padahal janjinya, pekerjaan di kebun sawit akan diberikan kepada warga lokal,” keluh Luen.

Kepala Departemen Perizinan Regional Kalimantan Timur Kelompok Sinar Mas, Fitriyadi, membenarkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di perkebunan PT Tapian Nadenggan. ”PHK itu pilihan buruh yang sebelumnya mogok kerja,” ujarnya.

Untuk menyelesaikan masalah itu sempat dilakukan mediasi. ”Selama mediasi, seharusnya buruh tetap bekerja. Tetapi ternyata mereka tidak bekerja lebih dari 15 hari. Padahal enam hari absen tanpa keterangan dianggap mengundurkan diri,” lanjut Fitriadi.

Menurut dia, perusahaan sudah membayar Rp 860.000 sesuai upah minimum sektor perkebunan. Namun, yang diberikan sebenarnya sudah lebih karena ada uang beras yang nilainya Rp 75.000 tiap bulan. Kalau ada istri dan tiga anak, perusahaan memberi uang beras Rp 200.000 per bulan. Untuk karyawan tetap disediakan perumahan di dalam kompleks perkebunan yang luasnya sekitar 45 meter persegi per rumah.

Tak menentu

Para karyawan yang ”dipaksa mundur” kebingungan mencari lapangan kerja baru. ”Tak mungkin lagi kita kerja di hutan seperti dulu. Hutan sudah habis, ikan sudah susah didapat, sedangkan tanah-tanah ladang kita sudah menjadi kebun sawit milik perusahaan,” kata Lung.

”Sebagai masyarakat yang kebiasaan berladang berpindah, kita tidak bisa lagi bergerak. Ke sana sawit milik perusahaan, kesini juga sawit. Kita benar-benar dijajah. Jadi buruh di perusahaan juga tak dihargai yang pantas.”

Mengandalkan keluarga besar dan tetangga juga tak bisa lagi. Individualisme telah menghancurkan jejaring sosial, yang dulu menjadi kekuatan komunitas masyarakat. ”Sekarang, orang sibuk memikirkan keluarga masing- masing,” jelas ayah dua anak ini.

Posisi terakhir Et Lung adalah mandor. Ia bekerja sebagai buruh sawit sejak 2003. Pada waktu itu gajinya, terakhir, Rp 498.960, sedangkan yang dibayarkan hanya Rp 246.515. Gaji terakhirnya sebelum di-PHK, yaitu pada bulan April 2008, sebesar Rp 792.120, dibayarkan Rp 664.100.

”Banyak potongan yang kami tidak tahu untuk apa,” kata Lung.

Namun Abdul Aziz, alias We Yeu (80), Ketua Kelompok Tani Sawit Wekeah Yek, tak menyesali keadaan tersebut. Kepada salah satu anaknya yang ikut terjaring PHK, ia mengatakan, ”Kalau mau kerja keras dan hidup sederhana menjadi petani, pasti bisa hidup. Tanah ini akan mencukupi kebutuhan kita,” ujarnya.

Perusahaan memberi uang pesangon yang besarnya bervariasi. Ben menerima sekitar Rp 17 juta, yang lainnya menerima pesangon tergantung lamanya masa kerja. Namun, tak banyak yang tahu bagaimana perhitungannya. ”Tidak ada yang transparan di perusahaan itu,” kata Ben.

Menggantung harapan

Menurut Ben, sekitar 50 persen dari 200 karyawan tetap perkebunan tersebut adalah penduduk setempat. Sisanya berasal dari berbagai tempat di Indonesia, sebagian berasal dari Sulawesi Selatan dan Jawa. Buruh dari Jawa, sebagian adalah eks transmigran yang didatangkan ke daerah itu untuk proyek kelapa hibrida.

”Tetapi proyek itu gagal,” ujar Paliyanto (38) asal Gunung Kidul, Yogyakarta. Ia sudah bekerja selama delapan tahun di perkebunan sawit, dan berencana mulai menggarap lahan yang didapat dari program transmigrasi. Bagi Paliyanto, Wahau adalah masa depannya.

Barangkali kisah Hardi (45-an) dapat menjadi contoh keberhasilan transmigran. Ia tiba di Wahau pada tahun 1986 ketika lokasi transmigrasi itu masih dikelilingi hutan. Proyek kelapa hibridanya gagal. Setelah itu, ia berusaha menanam coklat, tetapi gagal juga.

Hardi dan keluarganya bertahan hidup dengan menanam sayur dan menjualnya kepada karyawan perusahaan HPH di sekitarnya. ”Kami biasa jalan tujuh kilometer untuk jual sayur,” ujar Ngatilah (50), sang istri. Hardi berusaha dengan segala cara untuk hidup, termasuk dengan berjualan bakso.

Ketika banyak tetangganya pulang ke Jawa karena tak tahan dengan kehidupan keras di tempat itu, ia membeli lahan-lahan jatah kaplingan itu. Dia juga menjual sapi untuk dibelikan tanah hingga 10 hektar.

”Tahun 1990-an itu harga tanah masih murah, rata-rata Rp 500.000 per kapling (3,25 ha),” kenangnya.

Perhitungan Hardi tepat. Harapan mulai terbuka ketika akhir tahun 1990-an kelapa sawit mulai dibawa ke Kalimantan. Ia menanami lahannya dengan sawit. Tahun 2005, tanaman sawitnya mulai menghasilkan. Saat ini, Hardi menangguk Rp 12 juta bersih per bulan.

Sawit dengan cepat menaikkan harga tanah di Nehas Liah Bing. ”Sekarang satu kapling kosong sudah Rp 30 juta. Kalau sudah ada sawitnya bisa Rp 150 juta,” ujarnya.

Harapan yang samar

Sebagian besar pekerja di perkebunan besar adalah buruh lepas harian. ”Satu perkebunan terdiri dari enam divisi, buruh harian lepasnya per divisi sekitar 400 orang, belum yang borongan,” jelasnya.

Mereka menempati barak-barak yang luasnya sekitar 15 meter persegi per keluarga. Lingkungannya kumuh. Namun, di situ, mereka menggantungkan harapannya. Seperti Haruna (40-an) dari Sulawesi Selatan, yang tiba di tempat itu pada bulan April tahun lalu, dengan memboyong serta lima anaknya yang usianya di bawah 10 tahun. Gaji hariannya Rp 36.000, katanya lumayan dibanding tinggal di desa tanpa pekerjaan.

Riah (19), juga berasal dari sebuah desa di dekat Makassar. Anak ketiga dari lima bersaudara itu sudah 10 tahun ikut orangtuanya di situ. Suaminya juga buruh harian lepas. Tampaknya tak ada jenjang karier dari buruh harian lepas menjadi karyawan tetap sehingga nasib mereka senantiasa berada di dalam spiral kehidupan subsisten.

Suasana barak di enclave perkebunan yang jauh dari dunia luar membuat anak-anak tak punya gambaran tentang cita-cita. Ahmad (5) terlihat bingung ketika ditanya ingin menjadi apa kalau sudah besar. Setelah lama berpikir, ia bergumam, ”Mau kerja di kebun....” (MH/BRO/AIK)

Ambisi Besar, Kemampuan Kurang (Kompas 15-Jun-08, p18)

Ambisi Besar, Kemampuan Kurang
KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Para buruh kebun di perkebunan sawit di Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur, menunggu jemputan truk perusahaan, Kamis (5/6). Para buruh ini kebanyakan datang dari Jawa, Bugis, NTT, dan sedikit masyarakat Dayak.
Minggu, 15 Juni 2008 | 03:00 WIB

Maria Hartiningsih/Ambrosius Harto/Ahmad Arif

Ambisi besar untuk meraup devisa dari sektor perkebunan sawit ini sayangnya tidak didukung oleh kemampuan penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota (RTRWK). Produk RTRWP dan RTRWK yang ada justru mempercepat alih fungsi hutan di banyak wilayah di Tanah Air.

Evaluasi Greenomics Indonesia periode tahun 2003- 2007 terhadap proses penyusunan RTRWP dan RTRWK di Pulau Sumatera dan Kalimantan memperlihatkan, produk itu secara teknis tidak sahih dan di bawah standar.

Rendahnya kualitas RTRWP dan RTRWK ini menyebabkan kasus tumpang-tindih perizinan di lapangan, konflik status dan fungsi kawasan hutan dan pengaplingan areal hutan lindung untuk perizinan perkebunan, budidaya pertanian lainnya, juga kegiatan eksplorasi lain.

”Pengalihfungsian hutan untuk perkebunan sawit dilakukan serampangan, seperti tak ada hukum,” ujar Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Elfian Effendi. ”Semua itu membuat pembangunan tak sesuai dengan daya dukung lingkungan.”

Kelemahan RTRWP dan RTRWK itu juga berdampak pada penatagunaan lahan. ”Kalau di dalam areal yang 10.000 hektar itu ternyata hutan sekaligus kebun, bagaimana?” tanya Bayu Krisnamurti, Deputi Bidang Kelautan dan Pertanian Departemen Keuangan.

Masalah lain adalah hukum positif di Indonesia yang memberi hak penguasaan cukup leluasa terhadap individu, tetapi tidak memberi perlindungan memadai bagi penguasaan komunal. ”Sertifikasi bukan jawaban karena kalau liquid malah bisa dijual. Niat melindungi hak komunal tidak tercapai,” ujarnya.

Konflik kepemilikan

Konflik antara masyarakat dan pengusaha terkait penggunaan lahan tak bisa dihindari di Wahau. ”Seharusnya kebijakan pemerintah lebih berpihak pada perkebunan sawit rakyat,” sambung Simon David, koordinator aksi pendudukan perkebunan sawit milik kelompok Sinar Mas di wilayah itu selama sembilan hari delapan malam, bulan Januari lalu.

Ia termasuk kelompok yang menuntut perkebunan sawit swadaya, bukan kebun plasma. Bagi dia, pola seperti itu lebih menguntungkan pengusaha.

Menurut Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Kutai Timur Akhmadi Baharuddin, inti pengembangan pola plasma yang diatur dalam dua peraturan Menteri Pertanian tahun 2006 dan 2007 adalah kemitraan antara rakyat dan perusahaan.

Perusahaan ikut membangun dan mengelola kebun rakyat selama satu siklus, yakni 25-30 tahun, sehingga produktivitas kebun tinggi. ”Awalnya pembangunan itu ditanggung oleh pemerintah lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional dan Daerah. Tetapi begitu sudah dibangunkan, rakyat menelantarkan kebun karena minimnya pengetahuan dan modal untuk perawatan lebih lanjut,” ujarnya.

Pandangan itu berbeda dengan warga. ”Tanah kami dipakai, sementara kalau ikut plasma kami harus utang bank,” ujarnya. Selain itu, ”Kalau ikut plasma hasilnya cuma Rp 750.000 per hektar setelah dipotong angsuran bank. Kalau kebun swadaya bisa antara Rp 1,5 juta sampai Rp 2,5 juta bersih,” ujar Simon.

Namun, angka itu tak bisa diandaikan. Bayu Krisnamurti mengingatkan, perkebunan sawit selalu bergantung pada pabrik, juga sebaliknya. ”Tandan buah sawit yang sudah dipetik hanya tahan 48 jam, kalau tidak diolah akan busuk,” ujarnya.

Sementara, pabrik pengolah CPO kecil hanya dimungkinkan kalau didukung oleh paling sedikit 10.000 hektar kebun sawit. ”Kalau tiap petani lima hektar kebun, harus ada 2.000 petani sawit. Menghimpunnya tidak mudah. Karena itu harus dicari solusi kelembagaannya,” ujar- nya. Namun, Bayu mendukung kekuatan tawar yang seimbang antara petani dan pengusaha, dan ini pun harus terus dicari polanya.

Saling silang

Setelah aksi itu, Simon David dan kawan-kawan menerima Rp 1,5 miliar dari perusahaan. ”Itu subsidi untuk meringankan kredit pembangunan kebun plasma kelapa sawit,” ujar Fitriyadi, Kepala Departemen Perizinan Regional Kalimantan Timur Sinar Mas Group.

Berdasarkan kajian tahun 2007, dibutuhkan biaya Rp 26 juta untuk membangun satu hektar kebun kelapa sawit. Pihak perusahaan menanggung biaya land clearing Rp 1,5 juta per hektar. Bantuan bibit Rp 1,5 juta. Sisanya yang Rp 23 juta adalah utang yang ditanggung petani dari pinjaman bank yang ditunjuk. Kenyataannya, warga inginnya uang subsidi itu dibagi-bagi tunai sehingga tujuan meringankan beban kredit untuk program revitalisasi perkebunan tak tercapai.

Simon David menolak alasan itu. Menurut dia, dana Rp 1,5 miliar itu adalah denda adat dari masyarakat dan koperasi karena perusahaan telah menyerobot lahan yang telah turun-temurun dipakai untuk berladang.

Uang itu kemudian dibagi-bagikan kepada warga desa sebesar Rp 1 miliar. Besarnya bervariasi, Rp 500.000 sampai Rp 1,5 juta. Yang Rp 300 juta untuk kas koperasi dan Rp 200 juta untuk lembaga adat, pengelola sarana ibadah, pengurus desa dan tokoh desa yang membantu aksi pendudukan.

Menurut Simon, perusahaan menjalin kemitraan dengan warga melalui Koperasi Sawit Prima Jaya. Sejumlah kesepakatan, misalnya, 20 persen dari hasil panen perusahaan selama lima tahun berproduksi harus diberikan kepada warga dalam bentuk uang tunai.

Perusahaan juga bersedia memberi proyek pengerjaan perkebunan kepada koperasi. Untuk warga Desa Nehes Liah Bing, perusahaan menjanjikan akan membangun kebun plasma sebesar 964 hektar, tetapi hingga kini lokasi pembangunannya ditentukan tanpa persetujuan warga.

”Perusahaan sudah membangun 292 hektar, tetapi kami tidak menerimanya karena lokasinya di desa lain, jauh dari permukiman kami. Kami merasa tertipu,” ujarnya.

Lenyapnya "Surga" Kami... (Kompas 15-Jun-08, p17)

Lenyapnya "Surga" Kami...
KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Kondisi hutan di Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur, yang hanya menyisakan tonggak-tonggak kayu yang sudah mati. Sebagian area telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, yang kebanyakan dimiliki perusahaan-perusahaan swasta besar nasional dan pemodal asing.
Minggu, 15 Juni 2008 | 03:00 WIB

Maria Hartiningsih/Ambrosius Harto/Ahmad Arif

Ibarat melempar kancing baju, begitulah kemudahan mendapatkan berjenis-jenis ikan di Sungai Wehea. Airnya jernih, dapat diminum untuk memupus dahaga setelah bekerja di hutan. Sumber makanan disediakan oleh hutan lebat yang mengelilingi Desa Nehes Leah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur.

Desa di bagian utara, sekitar 350 kilometer dari Kota Samarinda itu, dulu, ibarat surga. ”Penduduknya belum banyak, sumber kehidupan berlimpah-ruah,” ujar Heng Yeng Bong (50), akrab disapa Martin Slamet.

Ia mengisahkan situasi desa itu sampai akhir tahun 1960-an. ”Di sini ada buah kapul, terai, dan lain-lain. Dulu, juga menjadi gudang cempedak dan durian hutan,” sambungnya.

Hutan di wilayah itu memiliki berjenis-jenis rotan, seperti rotan pulut, jepun, sega, jahab, seletub, dan semambu. ”Sekarang jalan berapa kilo pun tidak ketemu. Mungkin masih ada di hutan lindung,” lanjut Martin.

”Hutan sudah ditebangi, ada yang jadi kebun, ada yang ditelantarkan, macam-macamlah,” sambung Abdul Aziz alias We Yeu (80), Ketua Kelompok Tani Sawit Wekeah Yek yang beranggotakan 54 petani sawit di situ.

Dulu ada ribuan bekantan di tepi sungai. ”Tujuh tahun terakhir ini saya tak pernah melihat bekantan lagi di sini,” sambung Bau Bit Tung (42), akrab disapa Simon David.

Orang cenderung menengok ke belakang menemui kenangan tentang hal-hal yang menyenangkan. Kalau dihadirkan lagi mampu membuat orang tersenyum sendirian, sebelum secara perlahan menjadi getir ketika kembali menemui kenyataan.

Saat ini, Sungai Wehea berwarna coklat, mengalir lamban karena beratnya beban yang dibawa dari bagian yang lebih hulu. Jangan membayangkan ikan sungai yang lezat, seperti patin, jalawat, dan baong. ”Kalau mau makan ikan, beli di pasar. Ikannya dari Samarinda,” tambah Simon.

Berbagai perubahan

Warga Komunitas Dayak Wehea itu menengarai keberadaan kebun sawit yang menjorok sampai ke pinggir sungai, di samping kegiatan lain termasuk pembalakan hutan di wilayah yang lebih hulu, sebagai biang keladi situasi itu.

Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Kutai Timur Akhmadi Baharuddin mengatakan, Pemerintah Kabupaten Kutai Timur memang sedang menggalakkan agrobisnis dengan perkebunan sawit. Sampai tahun 2010, targetnya 350.000 hektar, dan 500.000 hektar antara tahun 2015-2020.

Saat ini terdapat sekitar 180.000 hektar perkebunan sawit, terluas di Kecamatan Muara Wahau. Lebih dari 40 perusahaan perkebunan sawit beroperasi di Kabupaten Kutai Timur, dengan lima pabrik pengolahan kelapa sawit yang menghasilkan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Data Dinas Perkebunan Kabupaten Kutai Timur menyebutkan, hingga awal tahun 2007 terdapat 81 pemohon izin usaha perkebunan sawit di wilayah itu.

Kalau hutan diubah menjadi perkebunan sawit, lahan harus dibersihkan dulu. ”Land clearing ini mengubah ekosistem. Lebih ngeri dibanding pembalakan kayu oleh perusahaan pemilik hak pengusahaan hutan,” kata Martin. ”Karena semak-semak hutan hilang, tanaman obat jadi sulit didapat,” sambung Keun Welay (42), ibu dari empat anak.

Tanaman sawit sangat rakus air, membuat tanaman lain yang membutuhkan air tak bisa tumbuh di dekatnya. ”Sekarang ini, kebun sawit berada hanya 3 sampai 5 meter dari pinggir sungai, sampai 40 kilometer ke arah utara,” ujar Martin.

Menurut peraturan, kebun sawit harus berada sekitar 40-50 meter dari pinggir sungai. Idealnya, menurut warga, setidaknya 1 kilometer dari kawasan pinggir sungai kondisi hutannya harus terjaga. ”Spesies tumbuhan hutan di pinggir sungai beda dengan hutan di pegunungan. Jenis-jenis tanaman obatnya juga beda,” kata Martin.

Ia menunjukkan daftar monografi perubahan Kawasan Budidaya Hutan (KBN) menjadi Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK), ”Kalau sudah diubah, kasarnya dimanfaatkan untuk apa saja boleh,” ujarnya.

Yang dirasakan paling mencolok adalah perubahan suhu di daerah itu. ”Dulu rata-rata 26 sampai 27 derajat Celsius, sekarang 30-34 derajat,” kenang Simon David. Pada pukul 10.00, baju sudah mulai basah oleh keringat.

Banjir menjadi kondisi rutin. ”Dulu juga ada banjir 10 tahunan. Jadi kami tahu, tahun kesembilan tidak lagi berladang di pinggir sungai. Sekarang kapan saja bisa banjir meskipun hujan kecil. Iklimnya makin tidak jelas,” lanjutnya.

Beberapa hari lalu, Darto Alsy dari Sawit Watch mengabarkan, desa itu terendam air hingga setinggi lutut orang dewasa karena hujan selama tiga hari.

Perubahan lingkungan dan alam adalah satu soal. Secara historis, produksi kelapa sawit tak hanya identik dengan penggundulan hutan-hutan tropis dan punahnya berbagai spesies langka, tetapi juga pengambilalihan atau pembebasan tanah (seringkali secara ilegal) milik masyarakat adat dan petani setempat, eksploitasi buruh perkebunan dan petani sawit yang selalu terpinggirkan oleh kebijakan yang cenderung berpihak kepada pemodal kuat.

Desa Nehes Leah Bing yang berpenduduk sekitar 10.000 jiwa dengan 411 kepala keluarga itu adalah gambaran yang nyaris sempurna dari semua itu....

Habis Kayu, Terbitlah Sawit (Kompas 15-Jun-08, p17)

Habis Kayu, Terbitlah Sawit
KOMPAS/AHMAD ARIF / Kompas Images
Hardi (40), transmigran asal Kebumen, Jawa Tengah, mengangkut sawit hasil panen dari kebunnya di Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Minggu, 15 Juni 2008 | 03:00 WIB

Perubahan kondisi alam, lingkungan, dan sosial di Desa Nehes Leah Bing mungkin dapat mewakili perubahan di wilayah Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur.

Banjir, misalnya, terjadi hampir di seluruh wilayah Kalimantan Timur, menyebabkan ribuan hektar sawah dan kawasan permukiman terendam. Dalam situasi yang lebih buruk, warga sampai mengungsi ke sejumlah penampungan darurat.

Namun, juga terlalu gegabah kalau hanya menunjuk perkebunan sawit sebagai satu-satunya biang keladi. Hulu persoalan adalah rezim deforestasi terpimpin yang menganggap hutan hanya sepetak tanah yang hendak diambil rente ekonominya dengan mengabaikan telapak sosial ekologis dari produksinya. ”Kehancuran hutan dapat dibilang mulai terjadi pada masa Orde Baru,” ujar Led Jie Taq, Kepala Adat Desa Nehes Leah Bing.

Kompas (16/3/1990) melaporkan, sebelum tahun 1967, hutan Kalimantan Timur hanya diramaikan kehidupan khas daerah pedalaman yang terkurung hutan dan dibatasi aliran sungai besar. Ketika Jepang mulai melirik kayu meranti Kalimantan, keheningan di pedalaman digantikan dengan ingar-bingar alat-alat penebang kayu.

Pemerintah Orde Baru yang butuh banyak devisa untuk pembangunan ekonomi kemudian menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 yang memuat Ketentuan-ketentuan Pokok tentang Kehutanan, menyusul PP No 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).

”Banjirkap”

Penebangan kayu besar-besaran telah dimulai tahun 1968. Datanglah musim yang disebut ”banjirkap”.

”Banjirkap adalah modus transportasi pengangkutan kayu dengan rakit-rakit di sungai, menunggu banjir supaya bisa digelontorkan ke hilir. Waktu itu prasarana angkutan darat belum ada,” ujar ahli ekonomi kehutanan, Dr Togu Menurung.

Pelaku penebangan kayu tak hanya yang punya izin HPH, tetapi siapa pun yang punya modal untuk menyewa tenaga kerja di pedalaman.

”Praktik pembalakan liar sudah terjadi pada masa itu, juga dilakukan perusahaan pemegang HPH, yang menebang di luar areal kerja yang sudah disahkan dalam Rencana Karya Tahunan,” sambung Togu.

Kemudian juga terjadi praktik relogging. ”Siklus tebang adalah 35 tahun. Tetapi, pada praktiknya banyak yang kembali menebang jauh sebelum siklus itu berakhir. Istilahnya cuci mangkok atau relogging.”

Operasi HPH mengajarkan eksploitasi hutan kepada masyarakat di pedalaman. Uang membanjir, tetapi gegar budaya membuat mereka tak tahu bagaimana menggunakan uang secara bijak. Sementara hutan hancur karena kearifan lokal berupa konsep tata ruang yang khas dalam pemanfaatan hutan dan lahan, dikesampingkan.

”Kami menganggap hutan sebagai peplai, atau lumbung kehidupan karena di hutan kami bisa mendapatkan berbagai kebutuhan hidup,” ujar Led Jie Taq.

Untuk menjaga peplai, ada sejumlah pliq atau larangan, seperti larangan mengambil kayu dan membunuh hewan di bagian hutan tertentu. ”Tetapi, semua sudah ditinggalkan. Hutan adat kami lenyap bersamaan dengan masuknya program transmigrasi ke wilayah ini,” lanjut Led Jie Taq.

Demam sawit

Kalimantan tak hanya menyimpan kekayaan di atas tanah hutan, tetapi juga kekayaan tambang mineral, minyak, gas, dan batu bara di perut buminya. Harta karun alam itu acapkali juga berada di dalam perut hutan besar.

Setelah penerapan otonomi daerah, pemberian izin bisa diberikan oleh penguasa lokal. Upaya mengejar pendapatan asli daerah (PAD) mendorong penerbitan izin eksploitasi secara lebih mudah. Sampai tahun 2006, misalnya, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat terdapat 504 kuasa pertambangan di daerah Kalimantan Timur.

Sejumlah wilayah di Kalimantan, seperti Kutai Timur, menggalakkan agrobisnis dengan pengembangan perkebunan kelapa sawit, ”Untuk menekan tingkat kemiskinan warga, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di pedesaan,” ujar Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Kutai Timur Akhmadi Baharuddin.

Dari Kawasan Budidaya Non-Kehutanan seluas 975.370 hektar di wilayah itu, yang ditawarkan untuk konsesi perkebunan seluas 564.036 hektar. Dari jumlah itu, menurut data da- ri Badan Promosi dan Investasi Daerah Kalimantan Timur, 276.624 hektar sudah ”dimiliki” investor.

”Sawit mempunyai prospek ke masa depan yang luar biasa,” ujar Dr Bayu Krisnamurti, Deputi Bidang Kelautan dan Pertanian Departemen Keuangan.

Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas utama perdagangan di dunia. Minyak sawit digunakan pada lebih dari 30 produk. Menurut kajian Sawit Watch (2006), konsumsi produk-produk minyak sawit meningkat selama 150 tahun terakhir. Dulu, pasar terbesar adalah Eropa Barat. Namun, sejak tahun 1990-an permintaan dari India, Pakistan, China, dan Timur Tengah meningkat pesat.

Penemuan bahan bakar non-fosil (biofuel), termasuk dari minyak sawit, sebagai bahan bakar alternatif dan katanya ”lebih ramah lingkungan”, membuat pasar sawit di dunia semakin terbuka lebar. Sawit Watch memperkirakan permintaan dunia pada tahun 2020 meningkat dua kali lipat dan akan terus meningkat setelah itu.

Malaysia dan Indonesia memproduksi 80 persen kelapa sawit di pasar dunia sampai tahun 2002, tetapi Malaysia menjadi produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia.

Peringkat pertama

Prospek yang cerah membuat pemilik modal, dari dalam dan luar negeri, dari yang kakap sampai kelas teri, mulai berinvestasi di sektor itu. Dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, Indonesia menempati peringkat pertama dalam kemampuan menarik investor perkebunan kelapa sawit. Demam sawit menggantikan demam kayu.

Kajian ISMaC yang didukung Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), dan Kamar Dagang Indonesia (Kadin) memperlihatkan, pada tahun 1994 baru terdapat sekitar 1,8 juta hektar kebun sawit, pada tahun 2020 diprediksi mencapai sekitar 13,748 juta hektar. Sampai tahun 2007, terdapat 6,716 juta hektar perkebunan sawit di Indonesia.

Penelitian Sawit Watch memaparkan usulan pemerintah-pemerintah daerah untuk mengalokasikan 20 juta hektar lahan untuk perkebunan sawit. Padahal kebutuhan sampai 20 tahun ke depan dapat tercukupi dengan mengalokasikan 5 juta sam- pai 10 juta hektar lahan sebagai perkebunan kelapa sawit produktif.

Namun, data lain menunjukkan, selama 25 tahun terakhir tak kurang dari 18 juta hektar hutan telah ditebang atas nama pembangunan kebun sawit di Indonesia, tetapi hanya sekitar 6 juta hektar yang ditanami kelapa sawit. Sisanya hanya ditebang untuk memperoleh kayu tanpa niat menanam kelapa sawit.

Pada tahun 2001, Bank Dunia memperkirakan sekitar 40 persen persediaan kayu ”legal” Indonesia berasal dari konversi hutan untuk perkebunan. Nilai kayu tebangan mendatangkan keuntungan sekitar 2.100 dollar AS per hektar.

Pengusaha yang sudah mengantongi izin HPH 10.000 hektar mendapat dua sumber pendapatan. Dari land clearing (kayunya) dan dari kredit untuk perkebunan kelapa sawit sebesar Rp 25 juta per hektar dengan grace period lima sampai tujuh ta- hun. Inilah yang disebut Bayu Krisnamurti sebagai ”beban sejarah”.

Bayu mengakui, situasi di lapangan jauh lebih rumit. Selain tumpang-tindih perizinan dan masalah tata guna lahan, juga persoalan lain terkait upaya pemberdayaan masyarakat dan petani sawit. (MH/BRO/AIK)